Tuesday, November 20, 2007

Global Warning atau Gombal Warning*

Kambing (Hitam) dan (m)Bebek Di Pesta Pora Para
Serigala?

Andreas Iswinarto

Vandhana Shiva seorang cendekiawan India terpandang
dan seorang aktifis sosial dunia menyatakan “dengan
menolak menandatangani Protokol Kyoto, Presiden Bush
telah melakukan tindak terorisme ekologis pada
sejumlah besar komunitas yang barangkali akan lenyap
dari muka bumi karena pemanasan global. Sedangkan di
Seattle, WTO dijuluki World Terorist Organisations
(Organisasi Teroris Dunia) oleh para demostran, sebab
kebijakan yang menyangkal hak kelangsungan hidup
jutaan orang”..

Mempertahankan ‘gaya hidup’ Amerika lah yang menjadi
dasar Presiden Bush dan juga pemerintahan Australia
untuk tetap bebal menolak menandatangi Protokol
Kyoto. Protokol Kyoto adalah tindak lanjut dari
Konvensi Perubahan Iklim, yang menetapkan target
penurunan emisi sebesar 5% untuk menstabilkan
konsentrasi gas rumah kaca. Mempertahankan ‘gaya
hidup’ ini jugalah yang menyebabkan rendahnya komitmen
negara-negara maju untuk memecahkan persoalan genting
ini.

Sesungguhnya di balik ‘gaya hidup’ Amerika inilah
tersembunyi ketamakan dan keserakahan. Mahatma Gandhi
memperingatkan “Bumi cukup untuk memenuhi kebutuhan
kita semua, namun ia tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan segelintir orang yang tamak”.

Selain itu dibalik kedigjayaan perusahaan-perusaha an
multinasional dan transnasional di negara-negara
utara yang mengontrol WTO, IMF, Bank Dunia, ADB dan
lembaga keuangan internsional, berlangsung rumus
akumulasi kekayaan segelintir orang hanya mungkin
terperoleh melalui penghisapan, dan kesengsaran yang
lain..

Pemanasan Global Ancaman Bagi Perdamaian Dunia

Namun sebuah pukulan martil dihantamkan di dinding
kebekuan ini oleh Panitia Nobel Swedia. Di tengah
semakin menguatnya fakta-fakta perubahan iklim yang
menyebabkan munculnya bencana ekologi di berbagai
belahan dunia, Al Gore (mantan wakil presiden AS dan
pejuang lingkungan hidup yang gigih) dan
Intergovernmental Panel on Climate Change – IPCC
(Panel Antar Negara untuk Perubahan Iklim)
Perserikatan Bangsa-bangsa dianugerahi penghargaan
nobel perdamaian.oleh lembaga bergengsi ini.

Ini menguatkan kredibilitas IPCC yang menghimpun pakar
dan peneliti dari 130 negara, berhadap-hadapan dengan
berbagai lembaga kajian tandingan yang dibayar oleh
perusahaan-perusaha an Perusahaan Trans-Multinasional
terutama perusahaan perminyakan raksasa untuk
mematahkan temuan-temuan dan prediksi ilmiah di
seputar isu perubahan iklim.

Diantaranya Intergovernmental Panel on Climate Change
Working memperkirakan tanpa ada upaya global
mengurangi emisi memperkirakan 75-250 juta penduduk di
berbagai wilayah benua Afrika akan menghadapi
kelangkaan pasokan air pada tahun 2020. Sementara itu
kelaparan akan meluas di Asia Timur, Asia Tenggara dan
Asia Selatan.. Sementara itu area pertanian akan
mendapatkan hujan separuhnya di Afrika hingga 2020

Khusus untuk Indonesia IPCC juga menyebutkan akan
menghadapi resiko besar akibat pemanasan global.
Dimana pada tahun 2030, diprediksi akan terjadi
kenaikan permukaan air laut sebesar 8-29 cm dari saat
ini. Bila benar, Indonesia dikhawatirkan akan
kehilangan sekitar 2000 pulau-pulau kecil. Penduduk
Jakarta dan kota-kota di pesisir akan kekurangan air
bersih. Pada sejumlah daerah aliran sungai akan
terjadi perbedaan tingkat air pasang dan surut yang
kian tajam. Akibatnya, akan sering terjadi banjir,
sekaligus kekeringan yang mencekik kehidupan.

Sementara terpilihnya Al Gore memberikan ujian baginya
untuk membayar kemandulannya saat memegang jabatan
wakil presiden Amerika Serikat. Sekaligus untuk
menjadi martil bagi Gedung Putih (pemerintah Amerika
Serikat) yang hingga kini menolak menandatangani
Protokol Kyoto.

Nobel Perdamaian ini sekaligus menegaskan bahwa
perubahan iklim adalah ancaman besar bagi terwujudnya
dunia yang damai. Disisi lain mengukuhkan tindakan
pemerintah Bush yang tetap bebal menolak
menandatangani Protokol Kyoto sebagai tindak terorisme
ekologis, sebagai pernyataan perang yang tidak ada
habis-habisnya terhadap bumi dan manusia.

Negara-negara utara adalah negara-negara yang rakus
mengkonsumsi energi, dan Amerika Serikat adalah yang
paling rakus.

Penduduk Amerika, Kanada, dan Eropa yang hanya 20,1
persen dari total warga dunia mengkonsumsi 59,1 persen
energi dunia, sedangkan warga Afrika dan Amerika Latin
yang 21,4 persen dari populasi dunia hanya
mengkonsumsi 10,3 persen.

Data 1990 menunjukkan, total emisi gas rumah kaca
mencapai 13,7 Gt (gigaton), yang secara berturut-turut
disumbang Amerika (36,1 persen), Rusia (17,4 persen),
Jepang (8,5 persen), Jerman (7,4 persen), Inggris (4,2
persen), Kanada (3,3 persen), Italia (3,1 persen),
Polandia (3 persen), Prancis (2,7 persen), dan
Australia (2,1 persen)

Pesta Pora Para Serigala

Saat menerima penghargaan nobel perdamaian Al Gore
menyatakan bahwa kita menghadapi kedaruratan yang
sangat serius. Ironisnya Gore menyangkal krisis iklim
sebagai isu politik yang paling genting saat ini dan
ia lebih memandangnya sebagai tantangan spiritual
untuk kemanusiaan. Nampaknya Gore ragu-ragu untuk
mengakui fakta bahwa persoalan krisis iklim global
adalah soal politik yang penyelesaiannya harus di
lakukan di arena politik di dalam pertarungan politik
yang keras.

Lebih tegas ini adalah soal ekonomi politik. Ini
adalah soal penguasaan akses ekonomi, alokasi sumber
ekonomi, dan distribusi manfaat atas sumber-sumber
ekonomi.. Ini adalah soal siapa yang memperoleh manfat
(keuntungan) , siapa yang menanggung biaya (
ekternalitas’ diantarnya adalah biaya
kerusakan/pencemara n lingkungan) Ini adalah soal
tatanan ekonomi yang tidak adil. Tatanan ekonomi
dimana ketamakan adalah keutamaan, tatanan ekonomi
dimana akumulasi kekayaan segelintir orang hanya
terjadi melalui penghisapan dan kesengsaraan
mayoritas lainnya. Inilah sistem ekonomi yang sedang
mendominasi panggung global hari ini bahkan sejak
jaman kolonialisme dan imperialisme klasik. Hari ini
sistim ini bernama Kapitalisme Neoliberal. Inilah
sistem ekonomi, dan kelembagaan ekonomi politik yang
bertumpu pada akumulai modal dan keuntungan,, sistem
kepemerintahan nasional dan global yang dikendalikan
oleh pasar.

Ini adalah HUKUM RIMBA, ini adalah PESTA PORA PARA
SERIGALA. Negara-negara selatan dan miskin dengan
segala kekayaan alamnya dan mayoritas rakyatnya,
adalah SANTAPANNYA. PESTA PORA PARA SERIGALA INI tidak
saja meninggalkan kemiskinan yang parah di kalangan
mayoritas rakyat utamanya di negara-negara selatan,
tetapi juga menimbulkan kerusakan lingkungan yang
parah di tingkat lokal dan regional. Dan pada
puncaknya kini seluruh bumi dan peradabannya harus
menghadapi ancaman bencana ekologi yang maha dasyat
akibat perubahan iklim. Ironinya rakyat di dunia
ketiga dan negara-negara selatan yang paling rentan
menghadapi ancaman bencana ini.

Negara-negara Maju/Utara terutama Amerika Serikat
adalah pihak yang paling bertanggungjawab atas
pemanasan global. Sikap keras kepala untuk
mempertahankan gaya hidup yang konsumtif, mewah dan
boros adalah sebuah tindakan pengingkaran terhadap
tanggung jawab tersebut. Bahwa kemakmuran yang mereka
nikmati hari adalah hasil dari penghisapan dan
pengerukan kekayaan alam negara-negara selatan sejak
masa kolonialisme dan imperialisme klasik hingga saat
ini. Sesungguhnya merekalah yang berhutang kepada
negara-negara Selatan. Yakni hutang sosial dan
ekologis yang diakumulasi negara-negara industri
karena perampasan sumber daya alam, kerusakan
lingkungan, pemiskinan rakyat dan pemakaian ruang alam
untuk menimbun limbah berbahaya diantaranya gas-gas
efek rumah kaca yang menimbulkan pemanasan global.

Bentuk-bentuk pengingkaran ini diantaranya dilakukan
dengan membuat kajian-kajian yang melemahkan dan
menyangkal laporan-laporan ilmiah seperti yang
dikeluarkan oleh IPCC, baik yang disponsori oleh
korporasi trans/multinasional maupun oleh aktor-aktor
di dalam pemerintahan. Pengingkaran- pengingkaran ini
dilakukan juga melalui pemaksaan mekanisme-mekanisme
perdagangan melalui WTO yang mensubordinasikan
otoritas Perserikatan Bangsa-bangsa, serta ekspor
teknologi kotor ke negara-negara selatan.

Pengingkaran- pengingkaran ini dilakukan dengan
memberikan keleluasan dan perlindungan kepada
korporasi-korporasi trans/multinasional untuk
menjalankan bisnisnya. Kini kekuasaan Korporasi Global
telah menyaingi kekuasan ekonomi-ekonomi
negara-negara.

Dari 100 pelaku ekonomi terbesar dunia, 52 diantaranya
adalah Korporasi Global. Oleh karena itu tanggungjawab
dan regulasi juga harus dilekatkan kepada
korporasi-korporasi ini.

Politik pengingkaran ini kemudian dilakukan dengan
mengkambing hitamkan negara-negara industri baru
seperti Cina, India, Meksiko, Brazil sebagai penyebab
utama pemanasan global. Demikian politik kambing hitam
ini ditujukan kepada negara-negara seperti Indonesia
yang belum lama ini dianugerahi gelar emitor ke-3
tertinggi emisi gas rumah kaca karena kebakaran lahan
dan hutan. Politik kambing hitam ini juga bisa dilihat
dengan mengalihkan tanggungjawab mereka untuk
mengurangi emisi di negaranya dengan bantuan untuk
penghutanan di negara berkembang atau melalui
mekanisme perdagangan karbon.

Pada akhirnya alih-alih mengakui hutang ekologis
mereka menggunakan intrumen hutang luar negri dan
investasi asing untuk melakukan kontrol, penaklukan
terhadap kedaulatan ekonomi negara-negara selatan.
Mereka menafikan bahwa kucuran dana baik hutang luar
negri maupun kredit ekspor mereka ikut andil
mengkronstruksikan ekonomi yang eksploitatif dan
menimbulkan kerusakan lingkungan hidup. Termasuk
diantaranya sistim bioful estate, industri pembangkit
listrik tenaga nuklir, rekayasa genetik.

Jerat hutang luar negeri ini lah yang akhirnya
menjadikan penguasa di negara-negara berkembang
(m)BEBEK saja kepada kepentingan negara-negara utara.
Disamping tentunya mental untuk mengejar rente ekonomi
yang menjanjikan dari proyek-proyek hutan dan proyek
‘perubahan’ iklim yang tidak memihak kepada
kepentingan mayoritas rakyat yang hidupnya bertumpu
pada hutan. Begitulah, rezim yang kini berkuasa di
negeri adalah juga undangan VIP dan sekaligus tuan
rumah pesta pora ini????

* meminjam sinisme di kaos yang dibikin kawan-kawan
muda sahabat lingkungan


dari milis temukita. udah minta ijin sama yang nulisnya kok!

No comments: